Selamat datang di blog SRIGALA BISNIS....


Tulisan-tulisan ini, pada dasarnya hanyalah sebuah wacana tentang banyak hal, tanpa dibatasi oleh topik tertentu, meskipun judul blog ini adalah SRIGALA BISNIS namun bukan berarti kita membicarakan tentang BISNIS SRIGALA.
SRIGALA BISNIS hanyalah sebuah sebutan yang saya pilih agar mudah diingat oleh para pembaca,

Semoga tulisan-tulisan dan foto-foto di blog ini dapat memberi masukan atau setidaknya menjadi sebuah koreksi kecil bagi siapa saja yang membutuhkannya... Amin.

Kamis, 28 Oktober 2010

BNI, Penyalur Sertifikasi Guru

ACARA SOSIALISASI SERTIFIKASI GURU

28 Oktober 2010

Program pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan maka diberikan kompensasi tambahan pendapatan bagi guru-guru yang akrab disebut Dana Sertifikasi. Dana Sertifikasi ini disalurkan dari APBN melalui KPPN yang ada diseluruh penjuru tanah air. Peluang ini dijadikan sebagai moment yang pas guna melakukan ekspansi pasar dalam peningkatan DPK BNI KCU USU.


Unit Penjualan didampingi BM BNI KCU USU melakukan Road Show Sosialisasi Sertifikasi Guru di tiga wilayah Kabupaten dan Kodya yang ada di sekitar kota Medan. KCU USU menangkap peluang ini guna penampungan dana sertifikasi guru-guru yang terealisasi berkat koordinasi dan pendekatan yang intens dengan pihak Kanwil Dinas Pendidikan Sumatera Utara.


Hasil yang dicapai juga sangat maksimal, lebih dari 17.000 guru-guru yang ada di seluruh wilayah Sumatera Utara disarankan membuka rekening Taplus BNI sebagai tempat penampungan dana tersebut dalam periode 2010 s.d. 2012. Dengan alokasi anggaran rata-rata pertahun kurang lebih 65 M.


Materi Sosialisasi yang disajikan diawali dengan Sosialisasi dari Dinas Pendidikan di Tingkat Propinsi mengenai alur pembayaran sertifikasi tersebut. BNI KCU USU sebagai mitra KPPN di wilayah Medan menjamin tersalurnya dana tersebut tepat waktu sesuai dengan SP2D yang disampaikan KPPN Medan. Hal ini menjadi sebuah hal yang menarik mengingat pembayaran sertifikasi guru pada tahun-tahun sebelumnya ketika ditangani bank competitor dianggap sangat lambat prosesnya. Selain itu pembayaran melalui rekening masing-masing guru penerima sertifikasi ini adalah salah satu upaya untuk menghindari hal-hal yang menyimpang dalam pendistribusian anggaran tersebut. BNI sebagai bank operasional KPPN Wilayah Medan akan menjadi salah satu jaminan tidak terjadinya retur kiriman dana sertifikasi tersebut yang berdampak kepada bertele-telenya proses pembayaran dana sertifikasi ini.


Harapan dari tulisan ini adalah agar BNI di daerah lain juga dapat melakukan follow up serupa guna peningkatan DPK di masing-masing cabang sesuai target tahunan yang dibebankan kepada management.*

Rabu, 06 Oktober 2010

Low Performance ; “Upaya Mengatasinya!”

Oleh Berlin Anto Gulo, SH/ NPP. 32150


Sebuah perusahaan pasti akan menginginkan pegawai yang dimilikinya tetap produktif dan mampu mambawa perusahaan kepada pendapatan yang lebih baik. Pola pemikiran profit oriented merupakan hal yang utama. Perusahaan tidak akan mau menggaji pegawai yang tidak mampu bekerja maksimal. Rendahnya kinerja pegawai ini sering disebut sebagai low performance yang secara garis besar dapat diartikan sebagai suatu hal dimana tidak terpenuhinya standarisasi keahlian atau skill yang dimiliki pegawai untuk menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya di perusahaan tersebut.


Hampir seluruh perusahaan besar saat ini menilai kinerja pegawainya berbasis kompetensi dimana mencakup didalamnya kemampuan individu seperti : pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja minimal yang harus dimiliki seseorang untuk menduduki jabatan tertentu yang berlaku secara nasional ( pasal 1 ayat 3 Kepmenaker No. 227/Men/2003). Dengan kata lain jika seorang pegawai tidak mampu memenuhi kriteria standarisasi kompetensi tersebut maka pegawai akan disebut sebagai pegawai yang low performance.


Untuk menjaga sebuah perusahaan tetap memiliki pegawai yang sesuai dengan standarisasi kompetensi maka pihak perusahaan akan melakukan beberapa upaya yaitu : melakukan rotasi dan mutasi pegawai, melakukan pelatihan-pelatihan skill pegawai, melakukan penawaran pensiun sukarela atau bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja. Semua upaya ini dilakukan perusahaan untuk tetap menjaga agar pegawai yang dimilikinya memiliki kinerja yang baik. Tentunya kinerja yang baik ini nantinya akan berbuntut kepada peningkatan laba perusahaan.


Terjadinya low performance pegawai sebenarnya dapat disebabkan dari faktor internal dan faktor eksternal pegawai. Faktor internal pegawai dapat berupa adanya masalah pribadi/keluarga yang tidak dapat dikelola dengan baik sehingga si pegawai tersebut tidak fokus dalam bekerja. Sementara faktor eksternal dapat berasal dari tuntutan perusahaan yang berubah-ubah sehingga si pegawai tidak mampu mengikuti strategi yang ditetapkan perusahaan. Selain itu mungkin dapat juga ditimbulkan oleh situasi kantor yang tidak nyaman, stagnasi terhadap satu job tertentu sehingga pegawai menjadi bosan, adanya demotivasi akibat tidak sesuainya pekerjaan dan latar belakang pendidikan pegawai dan bisa disebabkan oleh hal-hal lain yang berasal dari luar si pegawai.


Kompetensi pegawai berbasis standarisasi kinerja merupakan suatu proses yang dilakukan perusahaan guna penciptaan pegawai yang high performance sebagai pekerja yang qualifide/skill di bidangnya. Pegawai seperti ini tentunya akan diberikan fasilitas dan jabatan yang lebih tinggi dari pegawai biasa dan sebagai konsekuensinya maka si pegawai juga diharuskan terus memberikan yang terbaik buat perusahaan. Dengan demikian si pegawai harus terus menambah kualitas ilmu yang dimilikinya dan tetap mampu mempertahankan atau justru menambah hasil yang diperolehnya. Budaya kompetensi ini merupakan sebuah kultur perusahaan besar sebagai upaya peningkatan kinerja perusahaan.


Kinerja Pegawai Serta Hubungannya Dengan Kinerja Perusahaan

Kinerja seorang pegawai memiliki hubungan simbiosis mutualisme dengan kinerja perusahaan. Hubungan keduanya akan saling menguntungkan jika berjalan sesuai dengan yang diinginkan tetapi sebaliknya bila tidak terpenuhi akan menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak. Semakin meningkatnya kinerja pegawai / high performance maka juga akan meningkatkan performance perusahaan tersebut. Kaitannya dengan pencapaian target dan perolehan laba perusahaan. Semua ini tentunya tidak lepas dari strategi perusahaan untuk tetap meningkatkan kualitas pegawainya.


Salah upaya yang dilakukan perusahaan adalah dengan mengganti pegawai yang dianggap tidak produktif lagi atau low performance. Penggantian ini dapat dilakukan sepihak oleh perusahaan dengan melakukan PHK. Namun guna menjaga images perusahaan di masyarakat sering kali sebuah perusahaan harus terlebih dahulu melakukan langkah-langkah awal sebagai suatu upaya terakhir sebelum dikeluarkannya PHK sepihak oleh perusahaan. Salah satu contohnya adalah dengan menawarkan pensiun dini/atau dipercepat atau pensiun sukarela. Dengan kata lain perusahaan akan secara tidak langsung mengharapkan pegawai untuk sadar diri akan kemampuaan yang dimilikinya. Perusahaan mengharapkan pegawai tersebut mau mengundurkan diri secara sukarela atau jika tidak ia harus bekerja lebih giat lagi sesuai dengan kebutuhan perusahaan.


Krisis global saat ini mungkin akan berdampak negatif terhadap performance perusahaan sehingga mengharuskannya untuk mengambil kebijakan atau strategi seperti di atas. Perusahaan secara tidak langsung dipaksa untuk berubah sesuai dengan kebutuhan pasar jika tidak akan tergilas dengan sendirinya yang mungkin berdampak pada hancurnya perusahaan tersebut. Beberapa perusahaan juga melakukan efisiensi atau penghematan biaya operasional untuk mampu bertahan dari krisis global saat ini. Penghematan ini dilakukan dengan berbagai cara yaitu menutup atau melebur menjadi satu dari beberapa cabang/unit/biro/divisi yang dimiliknya, strategi lain dengan mengurangi jumlah pegawai yang dimilikinya. Pengurangan pegawai dengan alasan efisiensi sangat berat dilakukan karena di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 164(3) yang mengharuskan pihak perusahaan membayar pesangon dua kali lipat jika melakukan PHK dengan alasan efisiensi. Tentunya hal ini akan sangat susah dilakukan karena PHK yang dilakukan untuk efisiensi biaya perusahaan mengharuskan perusahaan tersebut membayar pesangon dua kali lipat dari biasanya. PHK yang dilakukan perusahaan sebenarnya akan lebih baik jika ditempuh melalui jalan musyawarah antara pegawai/serikat pekerja dan pihak perusahaan.


Kesimpulan

Low performance pegawai merupakan hal yang tidak diinginkan sebuah perusahaan. Hal ini dikarenakan kinerja yang dihasilkan oleh pegawai perusahaan tersebut akan berdampak langsung terhadap kinerja perusahaan. Hubungan timbal balik ini menjadi sebuah alasan mengapa perusahaan selalu berusaha mengambil langkah yang lebih hati-hati untuk menentukan standarisasi kompetensi pegawainya. Beberapa upaya yang paling sering dilakukan adalah dengan peningkatan kualitas pegawai melalui diklat/pendidikan yang mampu menambah skill individu pegawai, rotasi dan mutasi pegawai sesuai dengan latar belakang pendidikan yang dimilikinya serta melakukan PHK baik secara langsung maupun tidak langsung.


Low performance pegawai akan juga menimbulkan low performance perusahaan sehingga penanganan masalah seperti ini harus dilakukan dengan menciptakan kultur berprestasi dan standarisasi kompetensi dengan tujuan agar kemampuan pegawai selalu di up grade dengan sendirinya sesuai dengan kebutuhan perusahaan.*

Selasa, 05 Oktober 2010

Budaya “How To Make Your Bos Happy?” Apakah Sebuah KORUPSI?

Oleh Berlin Anto Gulo, SH / Npp. 32150

Kisah usang tikus-tikus kantor yang suka berenang di sungai yang kotor
Kisah usang tikus-tikus berdasi yang suka ingkar janji lalu sembunyi…

Kucing datang cepat ganti muka segera menjelma bagai tak tercela
masa bodoh hilang harga diri
asal tak terbukti... ah… tentu sikat lagi….

Lyrick : Iwan Fals – Tikus-tikus Kantor



Sudah tidak menjadi rahasia umum, orang tua kita sejak dulu selalu berpesan jika ingin sukses dan mendapat posisi yang bagus di tempat kerja maka pandai-pandailah menempatkan diri dan mengambil hati pimpinan. Pembelajaran yang selama ini dianggap sebagai ilmu warisan ternyata banyak diartikan menyimpang. Sadar atau tidak sadar, hal ini merupakan salah satu alasan mengapa korupsi sangat sulit diberantas di Indonesia.


Pintar dan terampil dalam bekerja bukan menjadi sebuah tolak ukur untuk bisa sukses dan memperoleh posisi yang lebih baik tetapi kemampuan membuat bos senang merupakan hal yang paling utama. Secara kasar dengan bahasa yang ekstrim sebagian orang-orang menyebutnya sebagai “Penjilat”. Sehingga hanya orang yang mampu menjilatlah yang akan diperhatikan oleh atasan.


Yang jadi pertanyaan adalah apakah sikap seperti ini dapat kita kategorikan sebagai sebuah korupsi? Tolak ukur pengertian korupsi mungkin selama ini hanya dinilai dari ada atau tidaknya kerugian secara meteril. Bahkan besar kecilnya pidana/hukuman dalam pasal-pasal UU Korupsi semuanya tergantung dari jumlah kerugian yang ditimbulkannya. Sementara jika dilihat berdasarkan tata bahasa, korupsi berasal dari bahasa latin corruptio dan corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik dan menyogok. Untuk menjerat para pelaku korupsi seharusnya secara kontekstual pengertian korupsi tersebut harus diartikan secara luas dengan menggunakan penafsiran analogi dimana tidak terdapat batasan pengertian. Secara analogi, korupsi tersebut dapat juga diartikan sebagai suatu cara mendapatkan sesuatu keuntungan secara tidak jujur / halal. Terserah keuntungan itu dalam bentuk uang atau tidak.


Perlunya Penilaian Berdasarkan Kompetensi

Budaya “How to make yaour bos happy” merupakan suatu alternatif untuk mendapatkan posisi yang baik. Beberapa pegawai yang memiliki kemampuan di bawah standart kompetensi yang ditetapkan terkadang memperoleh posisi yang lebih baik dibandingkan orang lain yang lebih berpotensi. Hal ini mungkin dikarenakan kemampuan pendekatan yang pro aktif atau bahkan over aktif kepada pimpinan.


Sistem Penilaian dan penggajian di BNI saat ini menggunakan Asas Pay for position & performance yang secara tidak langsung akan membuat seseorang untuk membudayakan prinsip tersebut. Penggajian yang didasarkan posisi memberi peluang munculnya persaingan tidak sehat. Dengan kata lain, akan ada celah dimana posisi yang diperoleh tidak selamanya dari penilaian secara kinerja tetapi dikarenakan faktor kedekatan dengan pemberi keputusan. Untuk menciptakan BNI yang bebas korupsi, pihak management seharusnya mampu memperkecil peluang atau celah yang terdapat dalam kebijakan atau peraturan yang berlaku di BNI tersebut. Karena kebijakan atau peraturan yang merugikan pegawai akan dapat dijadikan sebagai suatu alasan klasik untuk melakukan korupsi.


Penilaian berbasiskan posisi dan kinerja seharusnya dipisahkan sehingga tidak terjadi kerancuan. Pemisahan ini akan menciptakan kompetensi yang lebih objektif secara kinerja bukan personal (subjektif). Sehingga lebih tepat jika sistem penggajian hanya didasarkan pada kinerja atau performance. Bukan pada posisi. Penilaian berbasis kinerja dan performance ini akan membawa dampak lahirnya budaya berprestasi di kalangan pegawai. Dimana nantinya orang yang menggunakan prinsip “how to make your bos happy” tidak akan bisa menempati posisi yang baik tanpa adanya performance atau hasil kinerja yang memuaskan dari pegawai tersebut.


Selain itu masih ada pemimpin yang belum mampu menerapkan prinsip leadership yang baik sehingga pola kepemimpinan masih dibangun oleh prinsip-prinsip lama yang bersifat ortodok dimana pemimpin adalah seorang manusia super. Sehingga keberhasilan dalam mencapai target yang ditetapkan hanya dianggap sebagai hasil kerja pemimpin. Padahal pada dasarnya kesuksesan tersebut merupakan hasil kerja keras dan kerjasama dari semua pegawai yang ada. Situasi ini lah yang membuat budaya “how to make your bos happy” menjadi tumbuh subur dan akan menimbulkan korupsi.


Penghargaan Terhadap Kinerja Yang Baik

Hubungan antara pegawai dan perusahaan merupakan sebuah hubungan timbal balik dimana tingkat loyalitas pegawai terhadap perusahaan akan sangat berpengaruh terhadap tingkat loyalitas perusahaan terhadap pegawai. Hubungan antara keduanya juga tidak bisa dipisahkan.


Penghargaan yang diberikan perusahaan terhadap pegawai yang memiliki performance yang baik akan membangun loyalitas pegawai tersebut. Tentunya penghargaan ini juga harus didasarkan pada fakta nyata yang dilihat dari hasil kinerja pegawai terhadap pencapaian target perusahaan. Perusahaan harus mampu membangun kultur seperti ini melalui cara peningkatan karir pegawai tersebut secara nyata. Nantinya pegawai tersebut akan menjadi inspirasi bagi lingkungan tempat kerjanya untuk lebih meningkatkan kinerja dan terus berprestasi jika ingin mendapat posisi dan karir yang lebih baik. Sehingga teori yang mengatakan bahwa hanya orang-orang yang mampu menyenangkan atasanlah yang akan lebih diperhatikan dan diposisikan lebih baik akan tergeser bahkan hilang dengan sendirinya dari benak pegawai.


Pada intinya, budaya “how to make your bos happy” dapat menjadi positif jika pegawai yang berprestasi dapat dijadikan sebagai inspirasi bagi pegawai lain. Sehingga nantinya akan timbul suatu budaya baru yaitu budaya berprestasi jika ingin mendapat posisi atau jabatan yang lebih baik. Semoga!*