Selamat datang di blog SRIGALA BISNIS....


Tulisan-tulisan ini, pada dasarnya hanyalah sebuah wacana tentang banyak hal, tanpa dibatasi oleh topik tertentu, meskipun judul blog ini adalah SRIGALA BISNIS namun bukan berarti kita membicarakan tentang BISNIS SRIGALA.
SRIGALA BISNIS hanyalah sebuah sebutan yang saya pilih agar mudah diingat oleh para pembaca,

Semoga tulisan-tulisan dan foto-foto di blog ini dapat memberi masukan atau setidaknya menjadi sebuah koreksi kecil bagi siapa saja yang membutuhkannya... Amin.

Selasa, 05 Oktober 2010

Budaya “How To Make Your Bos Happy?” Apakah Sebuah KORUPSI?

Oleh Berlin Anto Gulo, SH / Npp. 32150

Kisah usang tikus-tikus kantor yang suka berenang di sungai yang kotor
Kisah usang tikus-tikus berdasi yang suka ingkar janji lalu sembunyi…

Kucing datang cepat ganti muka segera menjelma bagai tak tercela
masa bodoh hilang harga diri
asal tak terbukti... ah… tentu sikat lagi….

Lyrick : Iwan Fals – Tikus-tikus Kantor



Sudah tidak menjadi rahasia umum, orang tua kita sejak dulu selalu berpesan jika ingin sukses dan mendapat posisi yang bagus di tempat kerja maka pandai-pandailah menempatkan diri dan mengambil hati pimpinan. Pembelajaran yang selama ini dianggap sebagai ilmu warisan ternyata banyak diartikan menyimpang. Sadar atau tidak sadar, hal ini merupakan salah satu alasan mengapa korupsi sangat sulit diberantas di Indonesia.


Pintar dan terampil dalam bekerja bukan menjadi sebuah tolak ukur untuk bisa sukses dan memperoleh posisi yang lebih baik tetapi kemampuan membuat bos senang merupakan hal yang paling utama. Secara kasar dengan bahasa yang ekstrim sebagian orang-orang menyebutnya sebagai “Penjilat”. Sehingga hanya orang yang mampu menjilatlah yang akan diperhatikan oleh atasan.


Yang jadi pertanyaan adalah apakah sikap seperti ini dapat kita kategorikan sebagai sebuah korupsi? Tolak ukur pengertian korupsi mungkin selama ini hanya dinilai dari ada atau tidaknya kerugian secara meteril. Bahkan besar kecilnya pidana/hukuman dalam pasal-pasal UU Korupsi semuanya tergantung dari jumlah kerugian yang ditimbulkannya. Sementara jika dilihat berdasarkan tata bahasa, korupsi berasal dari bahasa latin corruptio dan corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik dan menyogok. Untuk menjerat para pelaku korupsi seharusnya secara kontekstual pengertian korupsi tersebut harus diartikan secara luas dengan menggunakan penafsiran analogi dimana tidak terdapat batasan pengertian. Secara analogi, korupsi tersebut dapat juga diartikan sebagai suatu cara mendapatkan sesuatu keuntungan secara tidak jujur / halal. Terserah keuntungan itu dalam bentuk uang atau tidak.


Perlunya Penilaian Berdasarkan Kompetensi

Budaya “How to make yaour bos happy” merupakan suatu alternatif untuk mendapatkan posisi yang baik. Beberapa pegawai yang memiliki kemampuan di bawah standart kompetensi yang ditetapkan terkadang memperoleh posisi yang lebih baik dibandingkan orang lain yang lebih berpotensi. Hal ini mungkin dikarenakan kemampuan pendekatan yang pro aktif atau bahkan over aktif kepada pimpinan.


Sistem Penilaian dan penggajian di BNI saat ini menggunakan Asas Pay for position & performance yang secara tidak langsung akan membuat seseorang untuk membudayakan prinsip tersebut. Penggajian yang didasarkan posisi memberi peluang munculnya persaingan tidak sehat. Dengan kata lain, akan ada celah dimana posisi yang diperoleh tidak selamanya dari penilaian secara kinerja tetapi dikarenakan faktor kedekatan dengan pemberi keputusan. Untuk menciptakan BNI yang bebas korupsi, pihak management seharusnya mampu memperkecil peluang atau celah yang terdapat dalam kebijakan atau peraturan yang berlaku di BNI tersebut. Karena kebijakan atau peraturan yang merugikan pegawai akan dapat dijadikan sebagai suatu alasan klasik untuk melakukan korupsi.


Penilaian berbasiskan posisi dan kinerja seharusnya dipisahkan sehingga tidak terjadi kerancuan. Pemisahan ini akan menciptakan kompetensi yang lebih objektif secara kinerja bukan personal (subjektif). Sehingga lebih tepat jika sistem penggajian hanya didasarkan pada kinerja atau performance. Bukan pada posisi. Penilaian berbasis kinerja dan performance ini akan membawa dampak lahirnya budaya berprestasi di kalangan pegawai. Dimana nantinya orang yang menggunakan prinsip “how to make your bos happy” tidak akan bisa menempati posisi yang baik tanpa adanya performance atau hasil kinerja yang memuaskan dari pegawai tersebut.


Selain itu masih ada pemimpin yang belum mampu menerapkan prinsip leadership yang baik sehingga pola kepemimpinan masih dibangun oleh prinsip-prinsip lama yang bersifat ortodok dimana pemimpin adalah seorang manusia super. Sehingga keberhasilan dalam mencapai target yang ditetapkan hanya dianggap sebagai hasil kerja pemimpin. Padahal pada dasarnya kesuksesan tersebut merupakan hasil kerja keras dan kerjasama dari semua pegawai yang ada. Situasi ini lah yang membuat budaya “how to make your bos happy” menjadi tumbuh subur dan akan menimbulkan korupsi.


Penghargaan Terhadap Kinerja Yang Baik

Hubungan antara pegawai dan perusahaan merupakan sebuah hubungan timbal balik dimana tingkat loyalitas pegawai terhadap perusahaan akan sangat berpengaruh terhadap tingkat loyalitas perusahaan terhadap pegawai. Hubungan antara keduanya juga tidak bisa dipisahkan.


Penghargaan yang diberikan perusahaan terhadap pegawai yang memiliki performance yang baik akan membangun loyalitas pegawai tersebut. Tentunya penghargaan ini juga harus didasarkan pada fakta nyata yang dilihat dari hasil kinerja pegawai terhadap pencapaian target perusahaan. Perusahaan harus mampu membangun kultur seperti ini melalui cara peningkatan karir pegawai tersebut secara nyata. Nantinya pegawai tersebut akan menjadi inspirasi bagi lingkungan tempat kerjanya untuk lebih meningkatkan kinerja dan terus berprestasi jika ingin mendapat posisi dan karir yang lebih baik. Sehingga teori yang mengatakan bahwa hanya orang-orang yang mampu menyenangkan atasanlah yang akan lebih diperhatikan dan diposisikan lebih baik akan tergeser bahkan hilang dengan sendirinya dari benak pegawai.


Pada intinya, budaya “how to make your bos happy” dapat menjadi positif jika pegawai yang berprestasi dapat dijadikan sebagai inspirasi bagi pegawai lain. Sehingga nantinya akan timbul suatu budaya baru yaitu budaya berprestasi jika ingin mendapat posisi atau jabatan yang lebih baik. Semoga!*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar