Selamat datang di blog SRIGALA BISNIS....


Tulisan-tulisan ini, pada dasarnya hanyalah sebuah wacana tentang banyak hal, tanpa dibatasi oleh topik tertentu, meskipun judul blog ini adalah SRIGALA BISNIS namun bukan berarti kita membicarakan tentang BISNIS SRIGALA.
SRIGALA BISNIS hanyalah sebuah sebutan yang saya pilih agar mudah diingat oleh para pembaca,

Semoga tulisan-tulisan dan foto-foto di blog ini dapat memberi masukan atau setidaknya menjadi sebuah koreksi kecil bagi siapa saja yang membutuhkannya... Amin.

Minggu, 12 September 2010

KORUPSI, Antara Kesempatan dan Hati Nurani

(Part I)

Oleh Berlin Anto Gulo

Coba perhatikan topik berita di Televisi, Majalah, Koran, Tabloid, tiada hari tanpa kasus Korupsi. Berbagai upaya dan tindakan yang telah dilakukan pemerintah untuk tetap fokus menyikat para koruptor, namun masih saja kalah saing dengan jumlah kasus yang ada. Semakin kuat aparat penegak hukum menindak dan memasang jeratan semakin pintar pula para koruptor mengantisipasi kemungkinan tertangkap. Ibarat tikus dan kucing, begitulah hubungan antara aparat penegak hukum dengan para koruptor. Tapi kenyataannya masih banyak tikus yang menjabat sebagai kucing. Berpura-pura menangkap tikus padahal tikus yang sebenarnya adalah dirinya sendiri.

Korupsi, penyakit moral masyarakat yang sulit untuk dihapuskan dari muka bumi ini. Tidak ada suatu teori pemberantasan korupsi yang tidak memiliki celah bagi para koruptor. Selalu ada ruang untuk bisa lolos dari semua peraturan yang telah dibuat pemerintah. Pembuatan UU Korupsi dan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serasa belum lengkap. Bukan hanya itu, banyak badan lain yang dibentuk untuk mendukung kerja para tim KPK, salah satu diantaranya komisi yudisial. Namun hasilnya belum menggembirakan.

Korupsi, sebenarnya dimulai dari adanya kesempatan. Kesempatan untuk menyalahgunakan wewenang dan mengambil sesuatu hal yang bukan menjadi haknya baik secara halal atau tidak. Kesempatan ini dapat terjadi karena situasi yang diciptakan sendiri atau tercipta dengan sendirinya. Yang membuat korupsi susah diberantas karena kesempatan untuk melakukan korupsi terjadi berdasarkan "suka sama suka". Intinya adalah didasari oleh "rasa saling membutuhkan". Kalo diibaratkan sama halnya dengan "transaksi wanita malam", "suka sama suka, transaksi berjalan", siapa yang larang?

Justru kasus korupsi yang terbongkar saat ini hampir sebagian besar terbongkar bukan karena hebatnya para penegak hukum tetapi karena situasi terjadinya korupsi tidak berjalan lancar. Maksudnya, tidak terjadi "rasa saling diuntungkan" atau salah satu diantara pelaku merasa dirugikan. Bahasa prokemnya “bagi-baginya kurang". Sehingga salah satu diantaranya komplain dan mengangkat kasus tersebut kepermukaan.

Kesempatan untuk melakukan korupsi ini sebenarnya telah tercipta secara tidak langsung dari struktur kepemerintahan kita. Banyaknya department dan luasnya wewenang pejabat pemerintahan menjadi salah satu faktor yang membuat korupsi tumbuh dan berkembang. Kita ambil saja salah satu contoh: pengurusan KTP dan Kartu Keluarga (KK, sangat susah dan berbelit-belit namun jika ada uang senilai Rp. 500.000,- maka semua bisa gampang. Bagi orang yang sangat membutuhkan KTP dan KK tentunya tidak akan ada kompalin atas perlakuan yang dilakukan oknum pejabat pemerintah tersebut. Azas "saling suka dan butuh sama butuh" menjadi yang utama. "Kalo mau cepat, ya bayar saja", itu intinya.

Hanya satu cara untuk menghilangkan korupsi atau setidaknya menghambat sedikit pertumbuhannya di masyarakat yaitu dengan satu kata Hati Nurani. Sehingga ketika akan ada kesempatan maka kita harus kembali melihat hati nurani kita. Apakah semua hal harus digampangkan dengan uang? Apakah prioritas yang kita terima akibat "uang pelicin" yang kita lakukan tidak merugikan orang lain? “Unsur suka sama suka” harus ditelaah kembali dengan “ada atau tidaknya pihak yang dirugikan”. Jadi bukan hanya sebatas pemenuhan kebutuhan kita. Karena disisi lain kita harus juga melihat kepentingan dan hak orang lain.

Jika setiap kesempatan yang kita miliki untuk melakukan korupsi digandengkan dengan hati nurani maka semua tindakan kita akan secara tidak langsung terbatasi untuk melakukan korupsi. Sikap ini harus dimulai dari diri sendiri dan dijadikan menjadi sebuah komitmen.

Hati nurani masyarakat kita harus dikembalikan pada tempatnya. Tidak ada gunanya berteriak “stop korupsi” jika hati nurani kita juga tidak pada tempatnya. Jangan sampai kita menjadi “maling teriak maling”. Perbaiki diri dengan hati nurani, setelah itu baru kita lihat yang lain.* (….part II…)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar