Selamat datang di blog SRIGALA BISNIS....


Tulisan-tulisan ini, pada dasarnya hanyalah sebuah wacana tentang banyak hal, tanpa dibatasi oleh topik tertentu, meskipun judul blog ini adalah SRIGALA BISNIS namun bukan berarti kita membicarakan tentang BISNIS SRIGALA.
SRIGALA BISNIS hanyalah sebuah sebutan yang saya pilih agar mudah diingat oleh para pembaca,

Semoga tulisan-tulisan dan foto-foto di blog ini dapat memberi masukan atau setidaknya menjadi sebuah koreksi kecil bagi siapa saja yang membutuhkannya... Amin.

Sabtu, 26 Februari 2011

MANAGEMENT KONFLIK, Merubah Hal Negative Menjadi Hal Positif

MANAGEMENT KONFLIK, Merubah Hal Negative Menjadi Hal Positif

Oleh Berlin A. Gulo, SH

Latar Belakang


Kondisi Negara kita saat ini sangat memprihatinkan. Setelah era reformasi dan kebebasan berdemokrasi lahir di Negara kita, semakin banyak saja masalah yang timbul silih berganti. Masayarakat yang dulu sepertinya buta terhadap era kebebasan berpendapat justru kini semakin liar dan lantang meneriakkan aspirasi tanpa takut. Demokrasi yang lahir dari reformasi dianggap sebagai “legalitas” untuk bertindak anarki bagi semua orang. Lantas, tidak salah jika kita menyebutnya sebagai “era demokrasi kebablasan”.


Gejolak yang timbul tentunya akan menimbulkan terjadinya konflik kepentingan. Perbedaan pendapat, latar belakang, persepsi, tolak ukur, akan menjadi sebuah alasan terjadinya konflik. Namun, jika kita mampu melakukan management konflik yang baik maka konflik tersebut tidak akan hanya membawa efek negative namun bisa menjadi sebuah momentum untuk lahirnya suatu perbaikan yang diinginkan orang banyak.


Konflik ditinjau dari pandangan umum


Banyak definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli manajemen. Hal ini tergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi para ahli tersebut tentang konflik dalam organisasi. Namun, di antara semua pengertian yang berbeda itu nampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal nilai, tujuan, status, dan budaya. Definisi di bawah ini menunjukkan perbedaan-perbedaan dimaksud.

Terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya, konflik merupakan suatu gejala dimana individu atau kelompok menunjukkan sikap atau perilaku “bermusuhan” terhadap individu atau kelompok lain, sehingga mempengaruhi kinerja dari salah satu atau semua pihak yang terlibat.

Konflik muncul karena ada kondisi yang melatar - belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Melakukan Management Konflik Di Dalam Lingkungan Organisasi

Para manajer sebuah perusahaan menghabiskan banyak waktu dan energi untuk menangani konflik. Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan, karena setiap jenis perubahan dalam suatu organisasi cenderung mendatangkan konflik. Di samping itu, jika konflik tidak ditangani secara baik dan tuntas, maka akan mengganggu keseimbangan sumberdaya, dan menegangkan hubungan antara orang-orang yang terlibat. Menurut Gibson, et al. (1997), kegagalan dalam menangani konflik dapat mengarah pada akibat yang mencelakakan. Konflik dapat menghancurkan organisasi melalui penciptaan dinding pemisah di antara rekan sekerja, menghasilkan kinerja yang buruk, dan bahkan pengunduran diri.

Para manajer di dalam sebuah organisasi publik harus menyadari bahwa karena konflik disebabkan oleh faktor-faktor yang berlainan, maka model yang digunakan dalam pengelolaan konflik juga berlainan, tergantung keadaan. Memilih sebuah model pemecahan konflik yang cocok tergantung pada beberapa faktor, termasuk alasan mengapa konflik terjadi, dan hubungan khusus antara pimpinan dengan pihak yang terlibat konflik. Menurut Greenhalgh (1999), efektivitas pimpinan organisasi dalam menangani konflik tergantung pada seberapa baik mereka memahami dinamika dasar dari konflik, dan apakah mereka dapat mengenali hal-hal penting yang terdapat dalam konflik tersebut.


Beberapa model teoretis dalam mengelola konflik yang dikemukakan oleh para ahli manajemen dan perilaku organisasi adalah :

Model Diagnosis Konflik Pandangan Kontinum dari Leonard Greenhalgh

Menurut Greenhalgh (1999:391), konflik bukanlah suatu fenomena yang obyektif dan nyata, tetapi ia ada dalam benak orang-orang yang terlibat dalam konflik tersebut. Karena itu untuk menangani konflik, seseorang perlu bersikap empati, yaitu memahami keadaan sebagaimana yang dilihat oleh para pelaku penting yang terlibat konflik. Unsur yang penting dalam manajemen konflik adalah persuasi, dan inilah bentuk penyelesaian konflik yang selalu ditekankan oleh Greenhalgh dalam model kontinumnya.


Lima Gaya Penanganan Konflik (Five Conflict-Handling Styles) dari Kreitner dan Kinicki


Model ini ditujukan untuk menangani konflik disfungsional dalam organisasi. Dalam model ini digambarkan lima gaya penanganan konflik dimana sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada orang lain (concern for others), dan pada sumbu horizontal menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada diri sendiri (concern for self). Kombinasi dari kedua variabel ini menghasilkan lima gaya penanganan masalah yang berbeda, yaitu: integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising.

Integrating (Problem Solving). Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalah.

Obliging (Smoothing). Sesuai dengan posisinya dalam gambar di atas, seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smothing (melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.

Dominating (Forcing). Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.

Avoiding. Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan masalah - malasah yang sulit atau “buruk”. Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.

Compromising. Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give-and-take approach) dari pihak-pihak yang terlibat.Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.


Model-model di atas sudah barang tentu hanya merupakan sebagain saja dari banyak model yang dapat dipilih dalam manajemen konflik. Model apapun yang dipilih akan tergantung pada beberapa faktor, antara lain: (1) latar belakang terjadinya konflik; (2) kategori pihak-pihak yang terlibat dalam konflik: apakah antar-individu, individu dengan kelompok, atau antar-kelompok dalam organisasi; (3) kompleksitas masalah yang akan dipecahkan; dan (4) kompleksitas organisasi.

Model - model Manajemen konflik akan bermuara pada bagaimana mengusahakan agar konflik berada pada situasi optimal, sehingga konflik tersebut dapat mencegah kemacetan, merangsang kreativitas, memungkinkan lepasnya ketegangan, dan memprakarsai benih-benih untuk perubahan. Robbins menjelaskan bahwa konflik itu baik bagi organisasi jika: (1) konflik merupakan suatu alat untuk menimbulkan perubahan; (2) konflik mempermudah terjadinya keterpaduan (cohesiveness) kelompok; (3) konflik dapat memperbaiki keefektifan kelompok dan organisasi; dan (4) konflik menimbulkan tingkat ketegangan yang sedikit lebih tinggi dan lebih konstruktif.

Tingkat konflik yang tidak memadai (terlalu rendah) atau terlalu berlebihan (konflik tinggi) dapat merintangi keefektifan organisasi untuk mencapai kualitas pelayanan publik yang tinggi. Kedua situasi ektrim ini dapat memunculkan sikap-sikap aparat yang apatis, absenteisme tinggi, bekerja seadanya, tidak empatik terhadap pengguna jasa, dan sebagainya; yang pada akhirnya akan memperendah kualitas pelayanan mereka kepada publik. Untuk itulah diperlukan suatu keahlian untuk mengelola konflik dari setiap pimpinan organisasi publik. Penggunaan berbagai teknik pemecahan dan motivasi untuk mencapai tingkat konflik yang diinginkan disebut sebagai manajemen konflik.


PENUTUP


Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa kualitas pelayanan publik dipengaruhi oleh tingkat konflik yang ada dalam organisasi. Faktor - faktor yang menjadi penentu tingginya kualitas pelayanan, misalnya: sikap responsif dan empatik dari para aparatur pemerintah akan sulit muncul jika di dalam organisasi terdapat tingkat konflik yang tinggi atau sebaliknya konflik yang terlalu rendah.

Sering kita temukan dalam setiap organisasi tentang adanya sikap pro dan kontra dalam memandang konflik. Ada pimpinan yang memandang konflik secara negatif dan mencoba untuk menghilangkan segala jenis konflik yang ada. Para pimpinan ini bersikeras bahwa konflik akan memecah-belah organisasi dan menghambat terciptanya kinerja yang optimal. Konflik memberikan indikasi tentang adanya suatu ketidakberesan dalam organisasi, dan adanya prinsip-prinsip atau aturanaturan yang tidak dilaksanakan dengan baik.

Pandangan yang berbeda terhadap konflik beranggapan bahwa konflik tidak mungkin dihindari. Semua bentuk ketidak - setujuan mengandung konflik, namun hal itu tidak perlu menimbulkan pertengkaran yang hebat. Para pimpinan yang setuju dengan pandangan ini berpendapat bahwa jika pihak-pihak yang berkonflik bersikap dewasa dan percaya diri, maka apapun masalah yang menjadi sumber konflik akan dapat diselesaikan dengan baik. Mereka ini percaya bahwa kinerja organisasi yang optimal memerlukan tingkat konflik yang optimal atau moderat. Tanpa konflik, akan ada rasa tidak memerlukan perubahan, dan perhatian tidak terfokus pada masalah. Karena itu yang dibutuhkan adalah bagaimana mengelola konflik sehingga konflik tersebut dapat dipertahankan pada tingkatan tertentu (optimal atau moderat) sehingga menimbulkan situasi kondusif dalam organisasi. Dengan demikian kualitas pelayanan yang diinginkan dapat tercapai.

Kunjungi Situs Resmi Kami :

DAFTAR PUSTAKA

De Cenzo, David A., dan Stephen P. Robbins, 1996. Human Resource Management. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Gibson, James L., et al., 1977. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Alih bahasa oleh Adriani. Jakarta: Binarupa Aksara.
Greenhalgh, Leonard, 1999. “Menangani Konflik”. Dalam A.Dale Timpe, (Ed.), Memimpin Manusia. Alih bahasa oleh Sofyan Cikmat. Jakarta: PT.Gramedia.
Kreitner, Robert, dan Angelo Kinicki, 1995. Organizational Behavior. Chicago: Irwin.
Luthans, Fred, 1985. Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill Book Company.
Milkovich, George T., dan Milkovich Boudreau, 1977. Human Resource Management. Chicago: Irwin.
Miner, John B., et al., 1985. The Practice of Management. Toronto: A Bell & Howell Company.
Robbins, Stephen P., 1996. Organizational Behavior: Concepts,Controversies, and Applications. USA: Prentice-Hall International Editions.
Schermerhorn, John R., et al., 1982. Managing Organizational Behavior. New Yor: John Wiley &Sons, Inc.
Sikula, Andrew F., 1976. Personnel Administration and Human Resources Management. New York: John Wiley &Sons, Inc.
Stoner, James A.F., dan R. Edward Freeman, 1989. Management. USA: Prentice-Hall International Editions.
Werther, William B., dan Keith Davis, 1993. Human Resouces and Personnel Management. New York: McGraw-Hill International

Tidak ada komentar:

Posting Komentar