HOW TO MAKE
YOUR BOS HAPPY, Negative personality?
Oleh BERLIN A.
GULO/NPP.32150
Menjadi bawahan merupakan pekerjaan yang gampang-gampang sulit. Susahnya
untuk dapat dipromosi membutakan mata pegawai untuk mampu melihat mana yang
baik dan mana yang benar. Bekerja keras dan berprestasi terkadang belum cukup
untuk dapat menjadi pilihan utama ketika promosi dilakukan.
How To Make Your Bos Happy? Mungkin akan menjadi sebuah dilema yang dialami semua bawahan.
Menjadi bawahan yang ingin direkomendasi harus mampu memuaskan atasan dan
membuatnya merasa bahagia atas pekerjaan yang dilakukan bawahan. Kultur “how to make your bos happy” merupakan
sebuah jalan singkat dan gampang untuk bisa menjadi popular dan meningkatkan
karir di dalam dunia pekerjaan.
Orientasi berprestasi dan memilki kinerja yang baik mungkin hanya
isapan jempol belaka. Sehebat apapun usaha yang telah kita lakukan jika
pimpinan kita tidak senang maka bukan tidak mungkin karir kita bisa terkubur
rapat-rapat. Iya kan?
Mungkin sudah menjadi hal biasa ketika seorang pegawai yang akrab
dengan pimpinan cenderung lebih berpeluang untuk dipromosikan dibanding orang
lain yang tidak dekat dengan atasan sekalipun mungkin prestasi yang
diperolehnya lebih banyak dari orang tersebut.
Penilaian Berbasis Kinerja dan Kompetensi
Hampir seluruh perusahaan saat ini melakukan penilaian pegawainya
berbasis kinerja dan prestasi. Potensi yang dimiliki pegawai akan diukur
berdasarkan prestasi dan kinerja, dimana nantinya akan menjadi modal dasar dalam peningkatan
karir pegawai tersebut. Dengan pola seperti ini akan melahirkan promosi pegawai
pada saat dan tempat yang tepat. Dengan kata lain, promosi pegawai tersebut
dipastikan akan berdampak positif terhadap perkembangan kinerja pegawai.
Mungkin secara teori penilaian berbasis kinerja ini dianggap sudah
mampu menciptakan pegawai yang The Right
Man in The Right Place, namun pada
kenyataannya masih ditemukan budaya How
to make your bos happy yang notabene
lebih dianggap menjadi sebuah patokan dalam memilih pegawai untuk dipromosikan.
Lantas mengapa budaya negative ini dapat terus tumbuh subur dan
berkembang? Salah satu faktornya adalah kekuasaan dan kewenangan yang sangat
besar yang dimiliki seorang pemimpin dalam hal management SDM. Factor penentu
terkadang tidak objektif namun lebih
kepada subjektif sehingga pembentukan
opini public akan lebih diperhatikan
daripada hasil kinerja yang nyata-nyata telah membukukan hasil.
Pembentukan opini public
yang tidak bisa dibuktikan secara tertulis akan menjadi sebuah track record yang banyak mempengaruhi
karir seseorang, lantas sejauh mana proses pembuktian yang dilakukan jika
memang belum ada bukti nyata baik yang bersifat teguran atau peringatan di
dalam profil pegawai. Intinya selagi profil pegawai (secara tertulis) tidak
mencantumkan daftar hitam seperti : surat teguran, peringatan atau sanksi, maka
pihak management tidak boleh memandang sebelah mata terhadap kinerja pegawai
tersebut.
Disisi lain, kedekatan terhadap atasan selalu menjadi sebuah patokan
terhadap peningkatan karir pegawai merupakan kultur negative yang nantinya akan
berdampak luas terhadap perusahaan. Dampak yang akan diperoleh adalah tidak
terciptakan kultur persaingan sehat dan budaya berprestasi di lingkungan
perusahaan. Jika hal ini terus berkembang dan berubah menjadi kultur positif
maka perusahaan dipastikan akan mengarah kepada kehancuran organisasi. Pembentukan
persepsi oleh opini yang dianggap positif akan menjadi sebuah boomerang yang
berimbas negative terhadap perkembangan perusahaan.
Teori Management Sumber Daya
Manusia
Di dalam Management SDM dikenal dua istilah yang dapat diambil
sebagai tolak ukur untuk melakukan promosi terhadap seorang pegawai, yaitu
Pertama, Hard Skill yang meliputi
kinerja dan prestasi, Kedua kemampuan soft
skill yaitu kemampuan yang tidak
bisa diukur dari persentse hasil yang diperoleh. Soft skill ini bukan merupakan sebuah angka-angka pencapaian
kinerja tetapi lebih kepada kemampuan
pegawai untuk berinteraksi dengan lingkungan kerjanya. Dengan kata lain, istilah
“Soft Skill” dapat diartikan kemampuan
pegawai untuk bisa diterima di dalam organisasi perusahaan. Kemampuan soft skill ini tidak lebih dari
kemampuan kita untuk bisa menempatkan diri dengan unsur-unsur yang ada di dalam
organisasi perusahaan. Pada prakteknya,
salah satu contoh soft skill ini adalah kultur “how
to make your bos happy”.
Namun pada perkembangan kultur “how
to make your bos happy”, justru berkembang menjadi kultur negative yang
akan melahirkan budaya “menjilat”
dimana berubah fungsi menjadi tangga praktis untuk bisa naik pangkat atau
promosi.
Sebenarnya, menjadi dekat dengan atasan bukan berarti harus
melakukan segala sesuatu yang membuat atasan senang dan menaruh hati kepada
kita. Pegawai diharuskan mampu untuk menyaring perintah atau tugas yang
diberikan atasan tersebut. Selagi pekerjaan tersebut tidak bertentangan dengan
norma dan hati nurani kita maka pekerjaan tersebut layak kita lakukan. Jobs description yang kita miliki
mungkin menjadi patokan untuk melakukan perintah atasan. Selain itu menggunakan
teori management resiko juga akan
sangat diperlukan untuk menjaadi bawahan yang baik.
Kesimpulan
Menurut saya sebenarnya aliran “how
to make your bos happy” merupakan salah satu negative personality yang tumbuh subur di Negara kita. Kultur
seperti ini akan menyingkirkan persaingan sehat dalam memperebutkan sebuah
posisi atau jabatan di dalam peningkatan karir seorang pegawai.
Teori “how to make your bos happy” dapat kita
jadikan menjadi sebuah jalan mendekati atasan, namun pada praakteknya kita
tetap harus melakukannya dengan berbasis prestasi dan kinerja. Mengutamakan prestasi dan memiliki
kinerja yang baik akan menempatkan kita kejajaran pegawai yang berkualitas.
Pegawai berkualitas tentunya akan menjadi pegawai yang “high Quality” dan juga “high
skill”, hal ini akan menjadi sebuah modal awal untuk bisa lebih maju tanpa
harus “menjilat atasan”. Semoga!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar